Santo Tarsisius lahir di Roma tahun 263 M. St. Tarsisius menjadi martir pada usia 12 tahun. Data tertulis yang menceritakannya terdapat dalam sebuah puisi yang ditulis oleh Paus Damasus. Paus Damasus menyandingkan kemartiran St. Tarsisius dan kemartiran St. Stefanus. Mereka sama-sama dirajam demi iman mereka akan Yesus Kristus. St. Stefanus dirajam oleh orang-orang Yahudi, sementara, St. Tarsisius dirajam oleh teman-temannya ketika membawa Sakramen Mahakudus.
Demikian petikan tulisan Paus Damasus: “…Ketika sebuah kelompok jahat fanatic melempari diri Tarsisius yang membawa Ekaristi, ingin Sakramen itu tak dicemarkan, anak laki-laki itu lebih suka memberikan nyawanya daripada memberikan Tubuh Kristus kepada para anjing liar …”
Menurut tradisi, St. Tarsisius adalah seorang akolit yang rutin mengikuti misa pagi bersama ibunya di salah satu katakombe.
“Kita sama seperti saudara-saudara kita yang rela mati demi iman akan Tuhan yang bangkit. Saat ini mereka sedang dalam penjara. Besok, mereka akan dilemparkan kepada singa lapar. Mereka berharap agar sebelum mati di mulut singa- singa itu, mereka menerima santapan kekal, Tubuh Tuhan yang Mahakudus. “Siapakah yang rela ke penjara mengantar roti kudus ini?” demikian kata Imam setelah perayaan Ekaristi selesai.
Mendengar pertanyaan itu, umat saling memandang ketakutan. “Pastor, Anda tak boleh pergi. Pastor pasti ditangkap,” kata salah seorang umat. Dari umat yang hadir ada seorang mantan serdadu Roma yang baru bertobat. Mantan serdadu ini menawarkan diri untuk membawa Sakramen itu. Namun, umat juga keberatan karena mantan serdadu ini sedang dicari-cari.
St. Tarsisius menengadah ke arah ibunya. Ibunya mengerti maksud St. Tarsisius dan menganggukkan kepala.
St. Tarsisius berdiri dan berkata, “Pastor, biarkan aku ke sana membawa Tubuh Kristus untuk saudara-saudara kita.”
Pastor menggeleng, “Engkau masih terlalu kecil, nak. Kalau serdadu Romawi menangkapmu, apa yang akan kamu perbuat?”
St. Tarsisius berusaha meyakinkan pastor. “Percayalah, Pastor. Saya akan berhati-hati dan menjaga Ekaristi Mahakudus ini supaya tiba dengan selamat.” Melihat kesungguhan dan keberanian Tarsisius, imam itu membungkus Sakramen Mahakudus dan memberikannya kepada Tarsisius.
Perjalanan melewati daerah serdadu Romawi aman. Namun, ketika melewati sebuah lapangan, ia melihat teman-temannya sedang bermain. Teman-temannya mengajak bermain, tetapi Tarsisius menolak. Teman-temannya heran sehingga mereka mengerumuni dia.
Ketika mereka melihat Tarsisius memegang sesuatu. Mereka menarik tangan Tarsisius dan berusaha melihat apa yang ada di dalamnya. Tarsisius tidak melepaskan, bahkan ia semakin kuat mempertahankan apa yang dipegangnya. Akhirnya, St. Tarsisius terjatuh.
Satu di antara anak-anak itu kesal, karena tidak berhasil meraih apa yang dipegang oleh Tarsisius. Katanya, “Ayo kita buktikan siapa yang paling kuat!” Ia mengambil batu dan melemparkannya ke arah Tarsisius. Tarsisius bergeming namun tangannya tetap melindungi sesuatu di dadanya. Bahkan ia semakin kuat memeluk Sakramen Mahakudus di dadanya. Anak-anak itu semakin marah dan brutal. Mereka merajam Tarsisius dengan batu berkali-kali.
Beberapa menit kemudian, Tarsisius sudah semakin tak berdaya. Tiba-tiba terdengar suara, “Berhenti…..! Mengapa kalian menganiaya dia?” Anak-anak itu lari terbirit-birit. Ternyata, suara itu berasal dari serdadu Romawi yang bertobat, yang sebelumnya telah menawarkan diri untuk membawa Sakramen Mahakudus. Mantan serdadu ini mengikuti Tarsisius dari jauh. Ia lari ke arah Tarsisius, memeluknya dengan perasaan sedih. Ia menggendong Tarsisius yang sudah tak berdaya. “Tarsisius, Tarsisius,” panggilnya dengan suara halus. Tarsisius membuka matanya yang memar dan berkata pelan, “Tubuh Kristus masih di tanganku.” Setelah mengatakan itu, Tarsisius menutup matanya.
St. Tarsisius meninggal dalam perjalanan pulang menuju katakombe. Jasadnya dimakamkan di katakombe Santo Kalisitus, Roma.
*Disadur dari berbagai sumber oleh Detianus Gea